Oleh: Osman
Susah, senang, sakit, sedih, bahagia, bila pergeseran yang berkaitan dengan rasa ini datang menghinggapi kita, dapat dipastikan dapat dirasakan secara nyata. Namun, bila pergeseran budaya lokal dalam masyarakat datang menghinggapi, rasa yang datang itu seolah tak begitu terasakan. Padahal, mitos dan kepercayaan pun dijungkirbalikkannya.
Jujur diakui, saat ini kita di Ranah Minang tengah mengalami pergeseran nilai budaya itu. Nilai budaya barat yang berhulu dari Barat tanpa Sumatera, kini telah menjalar bagaikan virus kanker. Akibatnya, masyarakat kita yang dahulunya megitu “mengagungkan” nilai-nilai budaya dan agama, kini telah gersang dengan nilai dan etika.
Sosok budaya dan intelektual di abad 21 ini, ternyata mengalami pergeseran dari segi pergaulan. Kini fakta menunjukan bahwa remaja Minang lebih mendominasi pada pergaulan bebas, salah satunya tidak kita temukan lagi rasa malu di kalangan remaja. Di samping itu, kurangnya budaya malu dalam masyarakat, baik itu di pedesaan dan perkotaan.
Kita bukannya tak mau belajar untuk memahami kemajemukan, perbedaan budaya, dan pergaulan sosial. Namun, kini pandangan sosiologis karakter masyarakat Minang itu betul yang mengalami semaan anomie atau kehilangan pegangan. Akibatnya, difusi budaya memusnahkan etika pergaulan di Ranah Minang.
Tak hanya itu, dekandensi moral pun telah pula tampak, seiring dengan maraknya pergeseran norma pergaulan, misalnya pergaulan bebas telah merambah pada kalangan remaja, kasus mahasiswi hamil di luar nikah hingga berhenti kuliah, narkoba, dan perkelahian. Kasus ini dapat dengan mudah kita telusuri di sekolah maupun di kampus.
Padahal, orang Minang dahulu mendidik anak-anak terutama anak gadisnya agar berpakaian sopan. Sedangkan dalam konteks pergaulan hubungan pertemanan antara pria dan wanita sangat dijarakkan.
Berbeda pada masa sekarang, wanita dan laki-laki kita temui berdua-duaan tanpa ikatan di mal-mal, supermarket, pasar, tempat pariwisata. Padahal, orang Minangkabau menyarankan anak gadisnya untuk menjaga diri dan tahu dengan batas kesopanan.
Namun, bila disbanding-bandingkan, ternyata jauh sekali dirasakan perbedaan antara pergaulan anak muda masa lampau dengan anak-anak muda zaman sekarang. Maaf, anak muda zaman sekarang sepertinya tidak tahu dengan malu ! Buktinya, dari riset pornografi di 12 kota besar di Indonesia terhadap 4.500 siswa-siswi SMP mengungkapkan 62,7 persen pelajar SMP pernah berzina, 21,2 persen diantaranya pernah aborsi dan sebanyak 97 persen dari mereka pernah membuka situs porno.
Inilah yang membuat saya makin risau. Sebab, dalam usia dini, para pelajar di negeri ini seolah berpacu memburu dahaga yang tertahan.
Jauh sebelumnya, kegalauan itu sebenarnya telah pernah disuarakan oleh seorang penyair di Sumbar, Febriansyah Fahlevi, sekitar tahun 1989 dan 1990. Kegalauan itu dikemas oleh Febriansyah Fahlevi dalam pementasan musikalisasi puisi, yang berjudul; “Kini Ranah Minang”.
Meski puisi itu hanya menyorot fenomena gadis dan bujang Ranah Minang, namun puisi itu adalah akumulasi dari kerisauan Febriansyaaah Fahlevi yang tak tertahan terhadap potret remaja Minangkabau.
Dalam puisi itu, Febriansyah Fahlevi menorehkan kata-kata penuh makna—walau hanya sekedar untuk dikenang—namun saya tetap berharap puisi ini bisa jadi bahan perenungan pagi para orang bijak negeri. Kini di sini api mengamuk//membakar rumput//kain panjang//baju kurung dan selendang saudara perempuan ku//baranya membias pada pipi//bibir dan mata//langkahnya lincah bagai kuda//suaranya merdu menikam sukma//dari kelincahannya bermain kata//.
Kini disini//si buyung asik berdendang di padang lapang//menghitung nisbi dengan jemari//tameng mereka tak lagi sarung dan peci//lapiak dan surau jadi gurau//
Inikah potret hidup kita//dalam mengayuh biduk di maya pada//asap apa gerangan yang menghalang pandang//nada apakah yang mengusik telinga//rona apakah yang menyilaukan mata//hingga buhul lepas di tangan//.
Oh....//ranah kita telah terluka//dari belati bajak yang berucap bijak//lukanya begitu dalam//mengalirkan darah membawa bangkai//yang berhulu dari Barat tanpa Sumatra//.
Lukanya begitu dalam//lukanya tanpa pembalut//akankah kita tikam hati dan mata//meski duka berjingkrak di depan kita//ataukah kita tunggu bumerang datang menghantam//.
Itulah penggalan ungkapan kegalauan Febriansyah Fahlevi terhadap fenomena di Ranah Minang. Kini, tinggal bagai mana kita-kita yang mengaku bijak dalam merespon fakta yang terjadi itu. Apakah memang kita akan menikam hati dan mata sendiri, padahal duka telah berjingkrak di depan kita. Atau, mukinkah kita tunggu bumerang datang menghantam?
Jumat, 24 Februari 2012
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar