Senin, 20 Februari 2012

PKL Diburu, Billboard Bagaimana?

Di mana-mana trotoar sepertinya selalu menjadi primadona. Walau hanya diperuntukkan bagi pejalan kaki, lokasi yang identik dengan jalan setapak ini, selalu jadi rebutan banyak pihak. Pedagang kecil, baik musiman maupun rutin berlomba-lomba mencari lokasi yang paling strategis. Tidak ketinggalan pengusaha besar, mereka juga memanfaatkan lokasi sempit ini untuk memperkenalkan produknya melalui papan reklame (billboard).  
Meski Kota Padang punya Perda Nomor 11 tahun 2005, tentang Ketertiban Umum, namun soal ketertiban umum itu hingga kini masih tetap jadi gunjingan, alias belum kunjung juga tertib.
Lihatlah para pedagang kecil yang lebih favorit dengan sebutan Pedagang Kaki Lima (PKL), masih saja terus berupaya untuk penyambung hidup di trotoar dan tempat-tempat strategis lainnya, hanya untuk sekedar bertransaksi uang recehan dengan orang yang lalu lalang.
Kendati apa yang dilakukan para PKL ini semata-mata demi “perjuangan hidup”, untuk kelangsungan hidup dan biaya pendidikan si buah hati, namun kegiatan mereka itu dianggap sangat jauh dari harapan memberi kontribusi terhadap Pendapatan Asli Daerah (PAD). Tak pelak, akhirnya aktifitas para PKL ini diburu dan digusur oleh Satuam Polisi Pamong Praja (Satpol PP).
Seperti sering terjadi di Bundaran Air Mancur, yang berada sekitar 300 meter dari Balaikota Padang, mereka digusur dari lokasi tersebut dengan alasan yang tak jelas dan tidak pernah dijelaskan. Walau mereka melakukan perlawanan, namun tetap berada pada posisi yang kalah.
Upaya mencari keadilan, juga telah pernah dilakukan para PKL yang berada di kawasan Air Mancur ini. Ditemani gerobak, mereka bertahan selama seminggu, demi mengharapkan datangnya keadilan. Secercah harapan pun telah diberikan Walikota Padang beberapa waktu lalu. Bila para PKL mau pindah ke Jalan Sandang Pangan, akan disediakan tenda pengganti payung, aliran listrik, air bersih dan jaminan keamanan—termasuk uang Rp750 ribu/pedagang.
Sayangnya, banyak PKL tak bereaksi. Sepertinya, para pedagang tidak butuh janji dan iming-iming. Bagi mereka, berjualan di lokasi yang telah dihuni selama ini, jauh lebih terjamin ketimbang janji manis.
Sebagaian lagi—meski merasa terpaksa—akhirnya menyatakan kesediaannya untuk dipindahkan ke Jalan Sandang Pangan. Tapi, apa daya ras was-was terhadap janji walikota menjadi kenyataan. Janji tinggal janji, karena penguasa kota telah memutuskan takkan memberi, lantaran tenggat waktu yang ditetapkan sudah lewat berhari-hari. Pada akhirnya, yang bisa dilakukan PKL, hanya gigit jari.
Begitu juga yang terjadi di Sawahan, Khatib Sulaiman, Perintis Kemerdekaan, dan  lokasi strategis lainnya. Setiap ada penertiban, selalui diakhiri dengan bentrokkan fisik. Pihak Satpol PP bersikeras untuk membersihkan trotoar dari PKL, dengan alasan mereka telah diberi peringatan beberapa kali. Bahkan, cara persuasif juga telah dilakukan, namun kata penegak Perda ini, para PKL terus membangkang.
Saat H. Syafril Basir SH dipercaya.menjabat sebagai Asisten I Bidang Tata Praja Sekdako Padang, ia mengatakan, sebenarnya Pemko Padang telah banyak menerima pesan singkat/SMS dari masyarakat, yang menyatakan terganggu oleh keberadaan PKL itu.
Bahkan, tambahnya tindakan persuasif sudah sering dilakukan, namun mereka main kucing-kucingan dengan aparat. “Mereka tidak mempedulikan kepetingan umum, bahkan dagangan PKL ada yang memakan badan jalan. Hal ini jelas merugikan orang banyak,” ujar Syafril Basir saat itu.
Ditanya belum adanya peraturan walikota sebagai tindaklanjut Perda Ketertiban Umum (Tibum), padahal aturan tersebut telah ditetapkan sejak 2005, Syafril mengaku sedang dalam proses. Walau begitu, mantan Sekretaris DPRD Padang ini mengatakan menata PKL merupakan suatu dilema. Apalagi, kota ini tambahnya sangat sempit sementara jumlah PKL ibarat cendawan tumbuh. “Kita tidak melarang mereka berjualan dan memakluminya, tapi mereka tidak taat aturan,” tambahnya.

PAPAN REKLAME
Terhadap keberadaan PKL yang memenfaatkan fasilitas umum, tampaknya sikap Pemko Padang cukup jelas dan tegas. Namun, bagai mana dengan keberadaan papan reklame raksasa alias billboard yang tumbuh subur? 
Terhadap papan reklame ini, sayangnya saat itu Syafril Basir tidak mau memberi tanggapan. Malahan dia menyarankan untuk konfirmasi ke Dinas Pendapatan Daerah atau Dinas Tata Ruang dan Tata Bangunan.  
Seperti diketahu, di mana-mana—khususnya di tempat-tempat strategis di Kota Padang—rayuan produk yang terdapat di papan reklame/bilboard, seolah bagai magnet tanpa bisa untuk dijauhi. Mulai dari sudut kota sampai ke pusat keramaian, bilboard selalu menjadi pemandangan.
Bahkan, menghambat pandangan di beberapa jalan utama, bukan hal yang sulit ditemui di Kota Padang. Jadi, wajar banyak orang mengatakan, Padang bukan Kota Tercinta. Tapi, Padang adalah kota reklame atau kota rokok. Padahal, di mana-mana kota besar di permukaan bumi ini, tidak ada bilboard atau papan reklame yang membentang jalan utama.  
Namun, bagi bilboard di Kota Padang, hal tersebut tidak penting. UU Nomor 14 tahun 1999 tentang Angkutan Jalan Raya tidak perlu dipikirkan. Sementara, Peraturan Daerah Kota Padang Nomor 14 tahun 2005 tentang Ketertiban Umum, sudah ada pengecualian, yakni dalam pasal 8 ditegaskan, bla.. bla..bla, kecuali atas izin walikota. Klop kan?
Hal lain, bilboard adalah daya tarik, karena terpampang para selebriti yang cantik dan tampan. Siapun yang memandang, akan terpana dan membuat mata gelagapan. Ini juga diselingi gambar pejabat negeri ini, baik sendiri-sendiri maupun dengan keluarga tercinta.
 Lebih dari itu, bilboard jelas akan menambah pundi-pundi pendapatan, demi pembangunan Padang ke depan. Jika berdiri di trotoar, merupakan hal yang wajar. Wahana Tata Nugraha, Adipura, dan berbagai  penghargaan lainnya, adalah buah dari penertiban PKL.
Sementara PKL, apa yang diharapkan pemerintah? Sudahlah tempat dagangan menimbulkan kesemrautan, para pedagang juga tidak memberikan kontribusi terhadap PAD. 
Coba bayangkan, jika PKL yang diutamakan Jadi, tidak ada yang bisa dibanggakan. Bahkan, berbagai penghargaan, bakal melayang dari dekapan. Bisa jadi, begitulah anggapan para pengambil kebijakan untuk menggusur PKL dan menyuburkan bilboard. (Sb/Rangga)

0 komentar:

Posting Komentar