Kendati peluang UKM untuk tumbuh besar terbuka lebar, namun tidak jarang pelaku UKM masih berhadapan dengan persoalan klasik, yaitu modal pengembangan usaha. Bahkan, meski pemerintah telah meluncurkan Kredit Usaha Rakyat (KUR) tanpa jaminan, namun kabar itu belum seutuhnya sampai ke pelaku UKM.
Usaha pembuatan Rakik Maco dan Keripik Ubi yang digeluti Yuliarni (41 tahun) telah lama ia lakoni. Berbekal kemauan dan modal pas-pasan, Rakik Maco dan Keripik Ubi itu ia produksi di rumahnya, Jalan Pemancungan, Kecamatan Padang Selatan. Dari segi rasa dan harga, produksi yang dihasilkan Yuliarni ini, tak kalah bersaing dengan kerupuk yang di produksi oleh pelaku Usaha Kecil dan Menengah (UKM) lainnya.
Diakui Yuliarni, ketika ia memulai usaha itu sekitar tahun 1991 lalu, ia telah memikirkan untuk lebih mengutamakan mutu ketimbang untung. Setidaknya dengan cara demikian, aku wanita yang memiliki 3 orang anak ini, perusahaan yang ia bagun tersebut akan dapat berkompetisi dengan perusahaan sejenis.
Kini, sudah 21 tahun Yuliarni mengelola perusahaan kerupuknya. Dalam kurun waktu tersebut, banyak suka duka yang dialaminya. Apalagi saat badai krisis datang melanda Asia-termasuk Indonesia, sekitar tahun 1997 lalu.
Seperti diketahui, kendati badai krisis datang melanda, namun para pelaku UKM merupakan sektor yang tidak banyak terpengaruh atas keterpurukan ekonomi nasional pada saat itu. Begitu pula usaha yang dirintis oleh Yuliarni bersama suaminya Muhammad Faisal ! Bahkan, perusahaannya itu masih dapat menyumbangkan peluang kerja yang cukup banyak untuk masyarakat di sekitarnya.
Kendati begitu wanita kelahiran Pesisir Selatan ini mengakui, hingga kini ia sering dihadapkan pada persoalan pengembangan pemasaran dan modal pengembangan usaha.
Realita yang sama tak hanya dialami Yuliarni saja! Namun, berdasarkan pemantauan Media Busser, juga banyak dari pelaku UKM menghadapi hal yang sama. Selain persoalan pemasaran, pelaku UKM juga sering dihadapkan pada persoalan modal pengembangan usaha.
Di sisi lain, pihak perbakan terlihat solah sering “berbenturan komunikasi” dengan formalitas UKM. Setidakya, hal itu terlihat dari persyaratan pinjaman/kredit yang harus melampirkan NPWP, SIUP, dan berbagai persyaratan administrasi lainnya. Namun dipihak lain, UKM seolah terlihat belum mampu untuk memenuhi persyaratan tersebut.
Realita itu diakui oleh pengamat ekonomi sekaligus pelaku usaha-H Hendri Hariandy. Katanya, selama ini UKM memang terkesan lemah dalam urusan manajemen. Akibatnya, perbankan kerepotan untuk mengidentifikasi mana UKM yang potensial dan mana yang tidak. Sementara itu, pelaku UKM pun merasa kesulitan untuk “menikmati” jasa perbankan.
Padahal, kata Hendri Hariandy, di negara maju sudah banyak sistim layanan yang tersedia bagi UKM, terutama dalam mengakses dana masyarakat secara langsung. Katanya, di negara-negara maju UKM bisa memperoleh dana penyertaan langsung, baik dari individu maupun lembaga, untuk memulai usaha baru atau yang sudah berjalan.
Kata Hendri lebih lanjut, hal semacam itu belum populer di Indonesia! Masyarakat di negara ini hanya tahu bahwa modal usaha itu hanyalah uang sendiri atau kredit bank.
Kendati demikian, Hendri juga mengacungkan jempol untuk UKM! katanya, sebenarnya banyak hal yang bisa diamati dari perjuangan UKM, terutama untuk tumbuh dan berkembang. Setidaknya, hal itu terbukti dengan banyaknya UKM yang mampu terhindar dari krisis ekonomi dengan caranya sendiri.
Lebih jauh dikatakan Hendri Hariandy, UKM bak memiliki daya lentur tersendiri terhadap krisis yang datang menghadang. Sepertinya, UKM mampu menjadi katup pengaman dalam menyediakan lapangan kerja, menjadi sumber kehidupan bagi masyarakat, tanpa berhenti berproduksi. Realita itu, menurut Hendri, setidaknya juga terkait dengan tidak banyaknya UKM terikat dengan pinjaman bank, yang terkenal dengan suku bunganya.
Agaknya acungan jempol yang dilontarkan oleh Hendri Hariady tersebut tidaklah terlalu berlebihan. Setidaknya, menurut data di Kementrian Koperasi dan UKM, dari survei yang dilakukan terhadap 225.000 unit UKM dari seluruh Indonesia, hanya 4 persen saja UKM yang terkena imbas krisis.
Belajar terhadap ketangguhan UKM dalam bertahan pada masa krisis itu, ternyata 6 tahun kemudian agaknya masyarakat mulai menyadari bahwa pengembangan sektor UKM, tidak saja penting di saat krisis.
PEMERINTAH LUNCURKAN KUR
Untuk mengatasi pelaku UKM keluar persoalan modal pengembangan usahanya, sebenarnya beberapa tahun lalu lalu pemerintah telah meluncurkan Kredit Usaha Rakyat (KUR) tanpa jaminan, dengan batas pinjaman sebesar Rp15 juta.
Tak sampai di situ, bahkan pada tahun 2010 lalu, pemerintah pun memastikan kredit usaha rakyat (KUR) tanpa jaminan yang batas atasnya dinaikan menjadi Rp 20 juta bisa segera diakses. Bahkan, saat itu sudah ada 6 bank pemerintah dan 13 bank pembangunan daerah (BPD) siap menyalurkan KUR itu. Menurut Menteri Negara Koperasi dan UKM, Syarif Hasan, 6 bank pemerintah itu adalah Mandiri, BNI, BRI, BTN, Mandiri Syariah, Bukopin.
Kata Syarif Hasan, target penyaluran KUR di tahun 2010 saja adalah Rp13,1 triliun. Namun, setelah 10 bulan berjalan, perbankan penyalur KUR hingga pertengahan Oktober 2010 ini, baru berhasil mencairkan dana sekitar Rp8,8 triliun. Itu artinya, masih tersisa Rp5 triliun yang belum tersalur kepada pelaku koperasi dan usaha mikro, kecil menengah.
Syarif Hasan kepada wartawan pun mengakui bahwa sosialisasi program KUR sampai sekarang masih kurang. “Saat ini yang terjadi bahkan ada masyarakat yang belum tahu KUR itu apa,” kata Syarif Hasan
Syarif Hasan mengakui, kurangnya sosialisasi tentang KUR merupakan kesalahan pemerintah baik dari tingkat menteri hingga tingkat kepala dinas di wilayah-wilayah. Menurut Syarif, hal itu menjadi indikasi bahwa sosialisasi tentang KUR masih sangat minim. “Sosialisasi kita ternyata masih minim, DPR juga mengkritik kami,” katanya.
Saat itu Syarif Hasan berjanji kementeriannya bertekad untuk mengoptimalkan sosialisasi KUR kepada masyarakat di tanah air. Okelah kalau begitu...! (Rangga)
Senin, 20 Februari 2012
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar