Ternyata, mantan Walikota Bukittingi-Djufri yang digadangkan “kebal hukum”—karena masih bisa makan siang di sebuah restoran meski berstatus tahanan—hanya bisa pasrah ketika majelis hakim Pengadilan Tipikor di Pengadilan Negeri Kelas IA Padang menjatuhkan vonis terhadapnya, empat tahun penjara dan denda Rp 200 juta.
Seperti diketahui, pada 28 April 2011 lalu, Kejaksaan Tinggi Sumbar telah mengagendakan pemeriksaan terhadap mantan Walikota Bukittinggi, yang juga menjabat anggota DPR RI, Djufri, yang diduga terlibat dalam kasus dugaan korupsi pengadaan tanah senilai Rp1,2 miliar, semasa masih menjabat sebagai Walikota Bukittinggi tahun 2004-2009.
Namun saat itu, Djufri melalui Divisi Advokasi Bantuan Hukum DPD Partai Demokrat, meminta upaya penangguhan pemeriksaan yang dijadwalkan pada Kamis (28/4) itu. Kuasa hukum Djufri menyampaikan permintaan pengunduran pemeriksaan dengan Surat No: 024/DA & BH/DPP-PD/IV/201.
Walau demikian, ternyata pemeriksaan terhadap Djufri ini tak pernah berhenti. Sebab, seperti diketahui, penetapan status Djufri sebagai tersangka, sebenarmya sudah dikeluarkan Kejaksaan sejak 9 Januari 2009. Namun Djufri sempat dua kali tidak menghadiri pemanggilan jaksa. Ia baru diperiksa pertama kali pada 12 Mei 2011 bulan lalu.
Namun, pada pemeriksaan kedua (8/6/2011), Kejaksaan Tinggi (Kejati) Sumbar tak memberi peluang lagi bagi Djufri. Ia pun langsung ditahan dan menempati Blok G (sel khusus korupsi) di Lembaga Permasyarakatan Klas II A Muaro Padang.
Djufri yang juga mantan Ketua DPD Partai Demokrat Sumbar diangkut ke tahanan LP Muaro Padang dari Kejati Sumbar menggunakan mobil tahanan sekitar pukul 18.15 WIB.
Hebatnya, entah memang Djufri merupakan salah seorang kader dari sebuah partai politik besar, meski sudah berstatus sebagai “orang tahanan”, perlakukan istimewa sepertinya dengan mudah ia dapatkan.
Beberapa waktu lalu, perlakuan istimewa yang di dapat Djufri itu sempat membuat heboh masyarakat Sumbar. Kala itu, berbagai media memberitakan Djufri kedapatan makan siang bersama dua jaksa di rumah makan Lamun Ombak, di Kilometer 24 Pasar Usang, Kabupaten Padangpariaman, Kamis 13/10/2011).
Layaknya jamuan makan siang “kelas bangsawan” saat itu makan siang di ruang eksekutif sekitar jam 13.30 wib itu, Djufri didampingi istri tercintanya, dua orang jaksa yang diketahui bernama Idial selaku Kepala Seksi Penuntutan Pidana Khusus Kejaksaan Tinggi Sumbar dan jaksa penuntut umum, Zulkifli. Bahkan, saat itu juga terlihat dua pria berpakaian preman. Rombongan Djufri datang ke restoran itu menggunakan mobil minibus bernomor polisi BA 2399 LD.
Kendati sudah ketahuan “makan bareng” namun kepada wartawan Kepala Seksi Penuntutan Kejati Sumbar Idial didampingi jaksa Zulkifli membantah bahwa saat itu ia sedang menikmati “acara senang-senang”.
Idial mengatakan, terdakwa keluar Lapas Muara sejak pukul 12.00 wib untuk berobat. Sebab, terdakwa mengalami penyepitan syaraf pada bagian pinggang sebelah kanan hingga paha, sehingga harus diobat dan sudah mendapatkan izin dari PN Padang.
“Namun karena jadwal praktik dokter syaraf di Rumah Sakit Siti Rahmah baru sekitar pukul 15.00 WIB dan karena sudah waktunya makan siang, kami sepakat makan sambil menunggu jadwal dokter praktik,” katanya pada wartawan.
Lebih jauh dikatakan Idial, jaksa tengah melaksanakan penetapan hakim untuk mengawal proses pengobatan Djufri. “Tidak ada pengawalan polisi berseragam, dan Djufri pun dibawa dalam minibus berpelat hitam,” katanya.
Sementara itu, pihak dari Humas Pengadilan Negeri Kelas IA Jon Effredi, kepada wartawan mengatakan, bahwa surat penetapan pengadilan itu sudah ada dari pekan lalu.
Menaggapi kasus ini, Koordinator Divisi Pembaharuan Hukum dan Peradilan LBH Padang Roni Saputra pun angkat bicara. Katanya, semestinya terdakwa dibawa menggunakan kendaraan tahanan, bukan dikawal jaksa penuntut umum.
VONIS DIJATUHKAN
Seperti diketahui, pada persidangan 19 Desember 2011 lalu, jaksa menuntut hukuman penjara empat tahun enam bulan, ditambah denda Rp 200 juta subsider enam bulan kurungan terhadap Djufri.
Namun, pada hari Jum’at 6 Januari 2012 lalu, majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) di Pengadilan Negeri Kelas IA Kota Padang, yang diketuai Asmuddin beranggotakan Sapta Diharja dan Emria Fitriani ini memovinis lebih ringan dari tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU) menjatuhkan vonis hukuman penjara empat tahun dan denda Rp 200 juta, subsider enam bulan kurungan.
Pada persidangan itu, Djufri hanya didampingi penasihat hukumnya yakni Anisda Nasution dan Tumbur Simanjuntak. Dalam putusan itu, terdakwa Djufri dinyatakan bersalah dan secara meyakinkan telah melanggar Pasal 2 Ayat (1) jo Pasal 18 Ayat 1 huruf a UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi sebagaimana diubah dan ditambah dalam UU Nomor 20 Tahun 2001 jo Pasal 55 Ayat 1 ke-1 KUHP.
Majelis Hakim menilai SK Nomor 188 tertanggal 28 November 2007 tentang pembentukan panitia pelaksana kegiatan pengadaan tanah tersebut tidak sesuai dengan aturan, terutama terkait jumlah anggota panitianya.
Dalam prosesnya, pembelian tanah juga tidak dilakukan langsung kepada pemilik tanah, tapi melalui perantara atau kuasa. Kemudian dalam penentuan harganya, juga tidak dibentuk tim penilai harga.
Sementara, dalam proses pembayaran, terdapat selisih pembayaran dengan harga yang seharusnya dibayarkan. Usai mendengarkan putusan, Djufri melalui kuasa hukumnya menyatakan banding atas putusan tersebut.
Seperti diketahui sebelumnya, dalam pledoinya Djufri menyatakan, dibentuknya panitia pelaksana kegiatan pengadaan tanah yang telah di-SK-kan Wako Bukittinggi 28 November 2007 lalu, adalah untuk mendukung kerja dari Pejabat Pelaksana Teknis Kegiatan (PPTK). Ide pembentukan panitia ini datangnya dari bawah, yakni PPTK dan juga kebutuhan mendesak guna merampungkan kegiatan pengadaan tanah.
Dalam pledoi itu Djufri menyebutkan, selama kegiatan tanah dilakukan PPTK, belum dapat terpenuhi sesuai yang ditargetkan. PPTK semestinya menyelesaikan pengadaan tanah untuk 9 item dengan anggaran sebesar Rp 9 miliar. Namun hingga penghujung tahun, tidak terlaksana secara keseluruhan. Baru satu item yang terlaksana sebelum SK tersebut dikeluarkan.
Djufri dalam pledoinya menyebutkan, kegiatan pengadaan tanah dilakukan untuk kepentingan Pemko Bukittinggi dan telah dilaksanakan sejak APBD Bukittinggi tahun 2007 disahkan DPRD waktu itu. “Dalam proses pengadaan tanah itu, tidak ada tim penilai harga. Yang ada hanya tim negosiasi. Tim negosiasi ini bertugas melakukan tawar menawar dengan pemilik tanah. Tim inilah yang bertugas mencari kesepakatan harga,” ujarnya. (Gin/Cia)
Senin, 20 Februari 2012
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar