Senin, 20 Februari 2012

Penertiban Tonase Memunculkan Lahan Korupsi Baru?

Sekitar 35% jalan nasional dan provinsi dalam keadaan rusak. Kerusakan ini, disebabkan beban tonase kendaraan angkutan yang melebihi kapasitas. Karenanya, Pemprov Sumbar pun melakukan penetiban beban tonase ini. Namun, begitu aturan ini dijalankan, malah seolah makin terbuka peluang “korupsi baru” bagi oknum petugas JTO.
Ternyata beban tonase angkutan yang melebihi kapasitas, sangat mempengaruhi umur jalan. Buktinya, dari total 1212 kilometer jalan nasional dan 1153 kilometer jalan provinsi, kondisi yang baik hanya 65 persen. Sisanya, dalam keadaan rusak
Menurut catatan, kerusakan paling parah hampir terjadi di seluruh titik perbatasan antara Sumbar dengan tiga provinsi tetangga, seperti perbatasan Sumbar dengan Jambi di Tapan (Pesel) dan Dharmasraya, Bengkulu di Silaut (Pesel) dan perbatasan dengan Sumut.
Dalam hitung-hitungan teknis, beban tonase angkutan ini erat kaitannya dengan umur jalan. Secara teknis, beban normal angkutan yang dapat menjaga umur jalan adalah beban tonase 10 ton. Namun bila beban tonase lewat 0-20 persen dari 10 ton itu, maka ini akan dapat mempersingkat umur jalan menjadi hanya 5,3 tahun. Padahal, bila kendaraan angkutan yang melewati jalan itu sesuai tonase—menurut hitungan teknis—usia jalan akan dapat bertahan hingga 10 tahun.
Masih menurut hitung-hitungan teknis, umur jalan juga dipengaruhi oleh tingginya tingkat arus kendaraan yang melewati jalan bersangkutan. Secara teknis, bila jalan itu dilewati 40 persen, maka umur jalan hanya 3,9 tahun.
Kemudian, bila arus kendaraan yang melewati jalan itu 40-60 persen, maka umur jalan hanya 2,5 tahun. Bila jalan itu dilewati 60-80 persen, maka usia jalan hanya 1,6 tahun. Lalu, apabila jalan itu dilewati 80-100 persen, jalan itu hanya dapat bertahan 1,2 tahun.
Dari pantauan Media Busser, hampir rata-rata kendaraan angkutan yang melewati jalan nasional maupun jalan provinsi ini melebihi tonase. Padahal, investasi terhadap perbaikan jalan itu, seperti di Kabupaten Dharmasraya, Solok hingga Padang, mencapai Rp 250 miliar/tahun.
Seperti diketahui, agar keluar dari persoalan itu Gubernur Sumbar melalui Surat Edaran bernomor 551.23/291/Perekonomian-2011, tertanggal 13 April 2011, melakukan penertiban muatan kendaraan angkutan barang di Sumatera Barat, yang mulai diberlakukan pada 1 Juli 2011 lalu.
Kendati Pemerintah Provinsi Sumbar beralasan bahwa penetapan kebijakan penertiban tonase di Sumbar telah melalui berbagai pertimbangan dan evaluasi, antara lain ; pembatasan masa usia truk, pertumbuhan kendaraan di Sumbar hingga pertumbuhan pembangunan jalan di Sumbar, namun “kegamangan” masih saja dirasakan oleh para pengusaha angkutan dan pengusaha lain yang menggunakan jasa angkutan ini. Karena, mereka menilai kebijakan Pemprov Sumbar itu akan berdampak pada pengusaha dan perekonomian Sumbar.
Malah nada berupa ancaman sempat meluncur dari para pengusaha angkutan tersebut. Kata mereka, bila Pemprov Sumbar tetap menerapkannya, para sopir angkutan barang ini memilih mogok beroperasi.
Kendati demikian, sikap tegas tetap ditunjukkan oleh Dirlantas Polda Sumbar, dengan menyatakan siap turun ke lapangan melaksanakan edaran Gubernur Sumbar tentang larangan mengangkut muatan melebihi ketentuan.
Memang diawal penerapan aturan ini, Dirlantas Polda Sumbar bersama unsur Brimob, Patroli Jalan Raya (PJR), Dinas Perhubungan dan masing-masing aparat kepolisian di Poltabes, berupaya mengamankan setiap pintu masuk ke wilayah Sumbar serta di seluruh Jembatan Timbang Oto (JTO).
Saat ketegasan itu benar-benar dijalankan, setidaknya kegamangan atas pemberlakuan tonase itu terlihat pada awal mulai diberlakukan pada 1 Juli 2011 lalu. Saat itu, banyak kendaraan angkutan ini yang mogok beroperasi. Mereka lebih banyak berhenti di jalanan, JTO maupun rumah makan. 
Dalam hitung-hitungan mereka, bila tonase kendaraan dibatasi, maka biaya yang dikeluarkan dengan yang diterima tidak lagi ‘klop’. Sebab ongkos angkut yang dibayar pemilik barang belum dinaikkan, sementara mereka harus mengangkut barang sesuai tonase jalan. Dan tak ada jalan lain, terpaksa kendaraan mereka tidak beroperasi dulu atau mogok.
Apa pun alasan yang dilontarkan pengusaha angkutan barang ini, namun demi keamanan dan kenyamanan, aturan itu tetap diberlakukan. Bahkan, sebagai upaya memaksimalkan penertiban truk barang yang melebihi tonase itu, Pemerintah Provinsi Sumbar manganggarkan dana senilai Rp2 miliar pada APBD 2012, untuk pembelian tanah lokasi pemindahan Jembatan Timbang Oto (JTO) dari Sungai Langsat, Sijunjung ke Kabupaten Dharmasraya.
Kata Gubernur Sumbar irwan Prayitno, pemindahan JTO yang kini berada di pinggir jalan Sungai Langsat, Sijunjung ke Dharmasarya sebagai upaya memaksimalkan penertiban truk barang yang melebihi tonase.
“Posisi Dharmasraya daerah pertama yang dilintasi truk-truk barang melalui lintas Sumatra dari Provinsi Jambi dan Pulau Jawa. Jika ada JTO di sana, penertiban akan dapat berjalan secara maksimal,” kata gubernur pada wartawan.
Bila melihat dari keseriusan pemprov bersama instansi terkait dalam pelaksanaan penertiban terhadap truk-truk pengangkut bahan tambang yang melintasi di wilayah Sumbar, agaknya perlu untuk diacungi jempol. Namun bila dilihat fakta di lapangan—terutama oleh ulah oknum-oknum nakal—agaknya apa yang telah dilakukan pemprov itu malah menjadi ternoda.
Dari temuan Media Busser, pasca diberlakukannya Surat Edaran (SE) Gubernur Sumbar tentang pembatasan tonase angkutan barang, pugutan liar malah makin marak terjadi di beberapa Jembatan Timbangan Oto (JTO). Kuat dugaan oknum petugas JTO membebaskan truk yang bermuatan lebih dengan membayar uang dalam jumlah tertentu.
Fakta itupun dikuatkan hasil temuan anggota DPRD Sumbar saat melakukan inspeksi mendadak (sidak) ke JTO Lubuk Selasih (11/9) lalu. Saat itu, anggota dewan ini menemui adanya “uang siluman” dan ada kesan JTO dijadikan sebagai ladang korupsi dan pungutan liar.
(Hsn/Gin)

0 komentar:

Posting Komentar