Senin, 20 Februari 2012

Kejati Sumbar Mulai Memperlihatkan Taring

“Taring” Kejati Sumbar sepertinya kembali terlihat. Selain sempat membuat anggota DPR RI sekelas Djufri tak bernyali, hingga mendekam di balik jeruji besi, apalagi hanya sekelas mantan bupati/walikota, mantan sekda dan beberapa pejabat teras lainnya, pun turut “dikandangsitumbinkan” Duh kasihan…..!
Dalam catatan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Padang, di Kejaksaan Tinggi (Kejati) Sumbar, dari 84 kasus dugaan korupsi sepanjang 2010 masih ada 18 kasus yang belum tertangani. Selain itu, ada 29 kasus yang macet di tengah jalan.
Menurut Koordinator Divisi Pembaruan Hukum dan Peradilan LBH Padang-Roni Putra, dalam 84 kasus itu di antaranya satu kasus yang proses hukumnya sudah dimulai pada 2004, sebanyak 17 kasus pada 2007, 22 kasus pada 2008, 25 kasus pada 2009 dan 19 kasus pada 2010.
Malah, menurut Roni Putra, jika dibandingkan di tahun 2009 lalu, maka pada tahun 2010 ini, terjadi penurunan kinerja penanganan korupsi oleh pihak kejaksaan. Dimana pada tahun 2009 ada sebanyak 25 kasus yang ditangani, sedangkan pada 2010 hanya 19 kasus.
 Dikatakan Roni, sepanjang tahun 2010, hanya ada 3 kasus korupsi yang diproses di Pengadilan Negeri Padang, diantaranya perkara korupsi pembangunan SMA 16 Padang, Kasus P4T Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi, serta kasus korupsi proyek rumput laut Mentawai. 
“Jika penanganan korupsi maksimal tentunya kasus korupsi yang dilimpahkan dan diproses di pengadilan akan lebih banyak,” kata Roni pada wartawan, beberapa waktu lalu, di kantor LBH Padang.
Untuk itu, menurut Roni Putra, Kejati Sumbar yang dipimpin Bagindo Fachmi yang sempat lolos 7 besar calon Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan sekarang M Hamid yang telah dilantik Jaksa Agung Basrief Arief,  Rabu (12/10) lalu, secepatnya memberikan kepastian hukum.
    Sebenarnya, semenjak DR H Bagindo Fachmi SH MH dilantik sebagai Kepala Kejaksaan Tinggi (Kajati) Sumbar, menggantikan AK Basuni Masyari SH MH,  Kamis (23/9/2010), dan kemudian digantikan pula oleh M Hamid (12/10), banyak “beban” yang harus dipikul Kejaksaan Tinggi Sumbar. Karena, pemberantasan korupsi di daerah ini belum berjalan sesuai harapan.
Kendati demikian, perlahan namun pasti, Kejaksaan Tinggi Sumbar—baik di masa kepemimpinan Bagindo Fachmi maupun M Hamid, telah berupaya memperlihatkan keseriusan penegakan hukum.
Seperti diketahui, pada 28 April 2011 lalu, Kejaksaan Tinggi Sumbar telah mengagendakan pemeriksaan terhadap mantan Walikota Bukittinggi, yang juga menjabat anggota DPR RI, Djufri, yang diduga terlibat dalam kasus dugaan korupsi pengadaan tanah senilai Rp1,2 miliar, semasa masih menjabat sebagai Walikota Bukittinggi tahun  2004-2009.
Namun saat itu, Djufri melalui Divisi Advokasi Bantuan Hukum DPD Partai Demokrat, meminta upaya penangguhan pemeriksaan yang dijadwalkan pada Kamis (28/4) itu. Kuasa hukum Djufri menyampaikan permintaan pengunduran pemeriksaan dengan Surat No: 024/DA & BH/DPP-PD/IV/201.
Walau demikian, ternyata pemeriksaan terhadap Djufri ini tak pernah berhenti. Sebab, seperti diketahui, penetapan status Djufri sebagai tersangka, sebenarmya sudah dikeluarkan Kejaksaan sejak 9 Januari 2009. Namun Djufri sempat dua kali tidak menghadiri pemanggilan jaksa. Ia baru diperiksa pertama kali pada 12 Mei 2011 bulan lalu.  
Namun, pada pemeriksaan kedua (8/6/2011), Kejaksaan Tinggi (Kejati) Sumbar tak memberi peluang lagi bagi Djufri. Ia pun langsung ditahan dan menempati Blok G (sel khusus korupsi) di Lembaga Permasyarakatan Klas II A Muaro Padang.
Djufri yang juga mantan Ketua DPD Partai Demokrat Sumbar diangkut ke tahanan LP Muaro Padang dari Kejati Sumbar menggunakan mobil tahanan sekitar pukul 18.15 WIB. 
Berselang tak berapa lama, Kejati Sumbar kembali menunjukkan “taringnya”. Kali ini, mantan Bupati Solok Gusmal yang jadi “korbannya. Setelah diperiksa sekitar delapan jam oleh penyidik Kejaksaan tinggi Sumbar pada 28 Juni 2011 lalu, mantan Bupati Solok, ini pun digiring ke lembaga permasyarakatan (LP) Muara Padang, Selasa (28/6/2011), sekitar pukul 19.00 wib, menggunakan mobil Toyota Avanza Silver BA 1104 BS. 
Sebelumnya, Gusmal bersama tersangka lainnya sudah diperiksa oleh penyedik Yovandi Yazid dari pukul 11.00 sampai pukul 17.30, dengan sekitar 30 pertanyaan. Gusmal bersama lima tersangka lainnya diduga melakukan korupsi pengalihan tanah negara bekas erfpacht verponding 173 di Bukit Berkicut, Jorong Sukarami, Kenagarian Koto Gaek Lubuk, Kecamatan Gunung Talang, Kabupaten Solok tahun 2008, seluas 17.750 meter persegi. Akibatnya, negara mengalami kerugian Rp 288 juta.
Penahanan terhadap Gusmal ini, merupakan gebrakan berani Kejati Sumbar yang ketiga kalinya. Sebab, seperti diketahui, sebelumnya Kejaksaan Tinggi Sumbar telah lebih dulu menjebloskan mantan walikota dan sekretaris daerah Kota Bukittinggi. Kini mantan Bupati Solok ini yang dapat giliran.
Tak hanya Djufri dan Gusmal, mantan Bupati Kepulauan Mentawai Edison Saleleubaja pun telah pula merasakan betapa tidak enaknya menjadi orang biasa. Sebab, baru berselang sekitar 3 hari masa dinasnya sebagai bupati berakhir, ia pun “dicokok” Kejati Sumbar (16/11). Edison diduga terlibat korupsi dana pengelolaan hutan pada 2005 sebesar Rp 1,5 miliar.
Bupati Mentawai dua periode itu, ditetapkan jadi tersangka pada 8 Desember 2010. Tetapi proses pemeriksaan tersendat karena sulitnya mendapat izin dari presiden. Kemudian Kejati mencekal Edison pada 24 Juni 2011. 
Penahanan Edison Saleleubaja yang dinilai fenomenal, karena karena hanya dua hari setelah sertijab, diharap mampu jadi terapi kejut bagi para kepala daerah yang bakal mengakhiri masa tugas. Yang pasti, dengan penahanan Edison itu, telah menambah daftar mantan kepala daerah yang ditahan Kejati Sumbar. (gin/cia)

0 komentar:

Posting Komentar