Seperti diketahui, pelaksanaan filosofi Minangkabau “Adat Basandi Syara’, Syara’ Basandi Kitabullah” (ABS-SBK), sebenarnya merupakan persyaratan untuk mewujudkan masyarakat Sumatera Barat (Sumbar) yang agamis dan berbudaya.
Namun dalam perjalanannya, filosofi ABS – SBK itu hanya tinggal sebuah simbol yang kerap “digadang-gadangkan”. Sebab, dalam praktek kekinian, masyarakat Sumbar yang identik dengan masyarakat Minangkabau, sudah mulai jauh dari tatanan hidup yang berbudaya dan agamis.
Setidaknya, fakta yang terungkap beberapa waktu lalu di Kota Padang, menunjukkan bahwa masyarakat daerah ini kian jauh dari tuntunan agama dan adat istiadat.
Kendati masyarakat Minangkabau dikenal dengan kehidupan yang religius, namun di Kota Padang (ibukota Sumatera Barat) dunia hiburan malam nampaknya begitu berkembang pesat, bahkan terkesan tak lagi terkendali. Buktinya, penari striptis (penari telanjang), mampu menebus sebuah tempat hiburan malam di Kota Padang.
Seperti diketahui, belum lagi tuntas penanganan kasus video mesum pelajar SMA di Padang, tiba-tiba warga Padang dihebohkan pula oleh aksi penari telanjang di tempat hiburan. Dimana pada hari Senin 26 September 2011 lalu, masyarakat Minangkabau dikejutkan oleh kabar yang teramat mengemparkan dan mampu menyisakan cemo (aib) bagi masyarakat dan Ranah Minang. Saat itu, Satpol PP Kota Padang berhasil menjaring perempuan penari telanjang, di tempat hiburan malam, Cafe dan Resto Fellas, Jalan Diponegoro Padang.
Silvi (21) dan Novera (21) yang tengah asik meliuk-liukkan gerakkan badannya, langsung digerebek Satpol PP Kota Padang. Dua perempuan penari (streaptease) itu digerebek sedang bugil mempertunjukan tarian telanjangnya di salah satu ruangan karaoke pada Cafe dan Resto Fellas tersebut.
Ketika petugas Satpol PP melakukan pengerebekan, ditemukan sebanyak lima orang dalam ruangan karaoke tersebut, tiga pria dan dua orang penari. Tiga orang laki-laki di ruangan tersebut berhasil meloloskan diri, sementara kedua penari telanjang itu berhasil ditangkap.
Kata Kepala Kantor Satpol PP Kota Padang Yadrison, kedua penari striptis (telanjang) yang diamankan tersebut adalah SS (21) warga dari Kabupaten Sawahlunto, serta NA (21) warga dari Kota Bukittinggi, yang kos di daerah Tanah Broyo, Kecamatan Padang Selatan, Kota Padang.
Kepada petugas Satpol PP Kota Padang, dua penari striptis tersebut mengaku telah terjun menjadi penari telanjang itu, karena tertarik dengan bayaran yang didapat serta berawal dari hobi mereka berkaraoke.
Bahkan, SS mengaku, dia telah bekerja selama tujuh bulan di Kota Padang, sebagai penari striptis, di dua kafe berbeda, yaitu di Fellas dan Happy Family. “Saya sudah tujuh bulan bekerja di dua cafe, yaitu di Fellas dan sebelumnya di Happy Family. Saya cuma menari, setelah itu pelanggan pulang, karena ada sistem tarif per jamnya,” kata SS pada petugas Satpol PP Kota Padang.
Dalam pengakuannya, SS menyebutkan bahwa setiap kali melakukan atraksi striptisnya, ia menerima bayaran Rp500 ribu sampai Rp1 juta.
Agak berbeda dengan SS, NA malah mengaku baru terjun dua bulan sebagai penari striptis, setelah berpisah dengan suaminya. Kata NA, jika tamu yang langsung menghubungi, maka tidak ada persenan bagi pemilik café. Namun, jika yang menyediakan pihak cafe maka Rp50 ribu setiap satu jam melakukan atraksinya diserahkan pada pihak cafe.
Berbagai kalangan meyakini, dua kasus amoral itu diyakini hanyalah puncak gunung es. Terbongkarnya pergaulan bebas kawula muda dan praktik maksiat di tempat-tempat hiburan malam, menurut berbagai kalangan, mencerminkan norma-norma agama dan adat sudah terkikis di negeri adat basandi syarak, syarak basandi Kitabullah.
PAHAM ATHEIS MUNCUL PULA
Makin terasa gamang bila masyarakat daerah ini masih terus “mengadang-gadangkan” filosofi Adat Basandi Syara’, Syara’ Basandi Kitabullah. Sebab, belum lagi pemerintah dan para kaum pendidik berhasil menuntaskan persoalan moral para generasi penerus daerah ini, kini muncul lagi persoalan baru. Alexander Aan (30), seorang PNS Dharmasraya, mengaku penganut aheis dan melakukan penistaan terhadap agama Islam.
Awalnya Alexander membuka akun Facebook perorangan atas nama Alexan. Lalu membuat grup Ateis Minang. Di grup itu, lelaki yang merupakan pegawai di Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Kabupaten Dharmasraya ini, merupakan adminnya.
Terbetik kabar, di grup itu Alexander Aan menulis identitas sebagai Urang Minang nan indak picayo ka tuhan, malaikat, setan, jin, antu balau, sarugo jo narako, sarato mitos-mitos apapun juga.
Lalu, Alexander pun membuka dialog di grup itu. Dalam dialog tersebut, Alexander mengaku ia seorang atheis yang tidak percaya Tuhan. Ia lantas menulis tentang agama Islam dan Nabi Muhammad SAW. Ia menafsirkan sendiri mengenai agama Islam, dan akhirnya ia menjelek-jelekkan Nabi Muhammad SAW.
Menurut Alexander Aan, nabi itu tidak memberikan teladan baik, karena mengawini istri dari anak angkatnya. Argumen itu diuploadnya, sehingga memunculkan konflik
Kepada wartawan, Alexander membenarkan dirinya tidak mengakui adanya Tuhan semenjak kecil. Alasannya terkesan sangat sederhana sekali, sebab katanya, kejahatan masih ada di mana-mana. “Bila memang ada Tuhan, tentu Tuhan tak akan membiarkan kejahatan itu meraja lela,” katanya.
Bahkan, Alexander mengaku sejak tahun 2008 ia tidak lagi mengerjakan shalat dan puasa, karena tidak sesuai lagi dengan pemahaman dirinya. “Tidak ada yang salah dalam pemahaman ini. Sejak duduk di bangku SD, saya sudah mulai menganut paham tersebut,” urainya pada wartawan.
Seperti diketahui, sebelum Alexander Aan ditangkap, Facebook (FB) Atheis ini dipenuhi beberapa gambar pelecehan Nabi, agama Islam dan kata-kata rasialis bangsa tertentu. Salah satu kalimat cacian tersebut datang dari seorang pegiat Atheis yang menggunakan nama “Ulama Padang”. Nama satu ini termasuk aktif menggunakan kata-kata kasar bernada hinaan yang berpotensi SARA.
“Kambing arab… semua bangsa punya pakaian tradisi… cuma bangsa tolol yang melecehkan tradisinya sendiri. Tradisi dan budaya selalu berubah tanpa harus meninggalkan jati diri bangsanya… Lu mau bilang nenek-nenek lu leluhur lu pakai pakaian seperti LONTE waktu ketemu kakek leluhur lu ????… Lu emang gak punya malu,” begitu kira-kira salah satu contoh tulisannya dalam sebuah komentar hari Selasa (17/01/2012), pukul 20:08, yang telah dimuat salah satu media massa Sumbar
Lebih parahnya lagi, para pegiat Atheis tiba-tiba mulai rajin mengirimkan posting dukungan ke berbagai media, termasuk media asing. Dalam beberapa postingannya, kalangan atheis mendesak adanya hak kebebasan, dukungan terhadap Alexander dan tertermasuk hak tak meyakini Tuhan dan agama.
Namun anehnya, semenjak kasus paham atheis yang berbarengan dengan penghinaan terhadap agama Islam ini mencuat, entah karena ingin mengapus bukti atau jejak, tiba-tiba semua posting Alexander yang dinilai menghina Islam dan melecehkan Nabi Muhammad pun lenyap.
Selain itu, posisi Alexander yang semula merupakan salah satu admin, rupanya juga sudah dikeluarkan. Beberapa anggota dalam FB tersebut sempat mempertanyakan kemana hilangnya foto-foto dan postingan Alexander.
Pasca kejadian ini, Kepolisian Resor (Polres) Dharmasraya menetapkan Alexander yang menganut paham atheis sebagai tersangka. Ia dijerat dengan pasal berlapis, karena diduga menistakan agama, menghina dan memalsukan identitas.
Kapolres Dharmasraya Ajun Komisaris Besar Chairul Aziz kepada wartawan mengatakan, Alexander yang bekerja di kantor Bappeda Dharmasraya tersebut, tidak diusut karena keyakinannya, namun karena berbagai tindakannya yang menistakan agama Islam.
“Kami sudah memperoleh bukti dan pengakuan tersangka. Yang dijadikan model atau bahan-bahan (penistaan) adalah ayat-ayat Al-Quran. Al-Quran kan milik umat Islam. Ini penistaan agama,” kata Chairul Aziz pada wartawan.
Kata Chairul Aziz , karena penistaan tersebut, Alexander dijerat dengan Pasal 156a KUHP, dengan ancaman hukuman maksimal lima tahun penjara. Selain itu, polisi juga menjerat pemilik akun facebook Alex Aan tersebut dengan pasal 27 ayat 3 Undang-Undang (UU) No 8 tahun 2011, tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) dan terancam pidana penjara enam tahun serta denda Rp1 miliar.
Rupanya tak sampai disitu saja, Alexander juga terancam pasal 263 KUHP tentang pemalsuan surat, terkait dengan pencantuman agama Islam di dalam identitas yang ia gunakan ketika masuk sebagai PNS di Dharmasraya. Pasal itu memuat ancaman hukuman penjara maksimal enam tahun. “Ia mengaku atheis. Tetapi, ketika masuk kerja ia menulis agamanya Islam,” kata Kapolres.
Di sisi lain, ketika hukum hendak ditegakkan—yang bukan terkait pada pemahaman, tapi lebih terfokus pada penistaan terhadap agama—berbgai bentuk “tekanan” pun datang dari pihak luar.
Seperti diketahui, pasca kasus Alexander Aan ini mencuat, sejumlah dukungan dan simpati terhadap Alexander Aan tidak hanya datang dari para freethinker/pemikir bebas anak negeri, tapi juga mengalir dari para freethinker di berbagai penjuru dunia. Salah satunya adalah sebuah group di FB bernama Support Alex Aan’s Human Rights.
Ada banyak pengguna FB luar negeri dan sejumlah akademisi serta organisasi internasional yang memberikan support terhadap Alexander Aan melalui halaman Facebbok (FB) ini. Salah satu di antaranya adalah pentolan Council of ex-Muslims of Britain, Maryam Namazie.
Tak hanya itu, dukungan lokal juga terbilang banyak mengalir pada Alexander Aan. Sebuah grup Facebbok bernama : “Dukung Pembebasan Alex Aan”, juga dipenuhi dengan komentar-komentar seputar kasus Alexander Aan ini.
Nah…., bila sudah begini, sepertinya pemerintah kudu harus hati-hati, terutama jika melihat banyaknya pihak asing yang mendukung kampanye group internasional seperti Support Alex Aan’s Human Rights. Bagaimana pun, ini adalah urusan anak kemenakan kita, karenannya, kita-kitalah yang akan menyelesaikannya. (Rangga)
Jumat, 24 Februari 2012
Fakta Runyam di Negeri Adat Basandi Syara’
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar