Jumat, 24 Februari 2012

Gamawan Tiada Duanya ?

Beberapa hari setelah mantan gubernur Sumbar yang kini jadi Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi, “dicemeehkan” sebagai “menteri miras”, karena berniat mengevaluasi sembilan Perda anti minuman keras (miras), falsafah Minangkabau “Adat Bersendi Syarak” diplesetkan orang menjadi “Adat Bersendi Arak”. Lho, kok jadi ngono toh….?
Ini bukan sebuah kisah fiksi yang berangkat dari ilusi belaka, namun sebuah fakta yang terjadi di negeri ini. Dimana, ketika para ustadz dan aktivis dakwah bahu-membahu memperbaiki moral anak bangsa, rakyat di negeri ini justru disentakkan oleh keputusan Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi, yang melayangkan surat kepada beberapa pemerintah daerah, untuk mencabut peraturan daerah yang dinilainya bertentangan dengan Keputusan Presiden.
Seperti diketahui, beberapa waktu lalu Kementrian Dalam Negeri (Kemendagri) di bawah pimpinan Gamawan Fauzi, berniat mengevaluasi sembilan Perda Miras, karena tidak sesuai dengan Keppres No. 3 Tahun 1997. Diantaranya, Perda Kota Tangerang No.7/2005 tentang Pelarangan, Pengedaran, dan Penjualan Minuman Beralkohol, Perda Kota Bandung No. 11/2010 tentang Pelarangan, Pengawasan, dan Pengendalian Minuman Beralkohol; dan Perda Kabupaten Indramayu No.15/2006 tentang larangan Minuman Beralkohol.
Beredar kabar, dalam sebuah surat yang ditujukan kepada Walikota Tangerang, Mendagri secara jelas meminta walikota mengusulkan proses perubahan Perda Nomor 7 tahun 2005 tentang Pelarangan, Pengedaran, dan Penjualan Minuman Beralkohol di Tangerang.
Menurut Mendagri, Perda tersebut bertentangan dengan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 1997 Pasal 3 ayat (2) jo Pasal 5 tentang Pengawasan dan Pengendalian Minuman Beralkohol. Di mana dalam Keputusan Presiden tersebut minuman beralkohol golongan B (5-20 persen) dan C (20-55 persen) termasuk barang pengawasan.
Sementara, minuman beralkohol golongan A (0-5%) tidak termasuk sebagai barang dalam pengawasan, dan karenanya merupakan barang yang bebas diproduksi, diedarkan, dan diperjualbelikan.
Terang saja langkah yang diambil Gamawan Fauzi itu mendapat tantangan dari berbagai elemen. Forum Umat Islam (FUI) mempertanyakan rencana Menteri Dalam Negeri, Gamawan Fauzi untuk mengevaluasi peraturan daerah (Perda) tentang minuman keras di sejumlah daerah itu
Menurut Sekretaris Jenderal Forum Umat Islam. Muhammad Al-Khatath, Islam sebagai agama yang meyakini keberadaan Tuhan Maha Esa menentang peredaran minuman keras di Indonesia.
“Dengan demikian, bila Gamawan bersikeras mengevaluasi Perda minuman keras di sejumlah daerah, dia bukan saja tidak menghormati umat Islam tetapi juga Pancasila,” kata Al-Khatath pada wartawan.
Lebih lanjut Al-Khatath menyatakan, hampir di seluruh negara sekuler yang ada di dunia, hanya Indonesia yang tidak memiliki Undang-undang tentang minuman keras. “Undang-undang yang melarang minuman keras harus segera dibuat,” ujarnya.
Yang pasti, pasca mendapat reaksi itu, Sekjen dan pejabat Kemendagri mencoba mengklarifikasi polemik Perda Miras yang sempat menghangat tersebut. Disampaikan,  Perda Miras milik sembilan kabupaten/kota itu bermasalah, sehingga perlu disempurnakan atau direvisi, dan bukan dicabut.
Dikatakan, berdasarkan ketentuan perundang-undangan, pemerintah kabupaten/kota di seluruh Indonesia tidak punya kewenangan untuk melarang secara total seluruh peredaran minuman beralkohol, mulai dari golongan A (kadar alkohol 0-5 persen), golongan B (5-20 persen) dan golongan C (20-25 persen). Hanya saja, kabupaten/kota diberi kewenangan untuk mengatur pengawasan dan peredarannya.
Lebih jauh disebutkan pihak Kemendagri, kewenangan untuk pemberian izin peredaran ada pada Mendagri berdasarkan Keppres Nomor 3/1997. Sedangkan kewenangan pemerintah kabupaten/kota hanya untuk mengawasi. Dan ini sudah dilakukan oleh Pemkab Manokwari dengan Perda Nomor 5 Tahun 2007.
Dalam Perda yang perlu diatur pemerintah daerah menurut pihak Kemendagri, yakni ; pengaturan peredaran minuman beralkohol golongan B dan C,  hanya dibolehkan pada hotel-hotel bintang 3. Termasuk juga mengenai jumlah yang harus dijual pada satu tempat usaha. Misalnya, berapa yang dijual per tahun atau per bulan, itu harus dijelaskan pada Perda.
Sedangkan untuk minuman beralkohol golongan A, pemerintah kabupaten/kota tidak punya kewenangan untuk melarang secara total peredarannya. Alasannya, miras golongan A dengan  kadar alkohol 0-5 % termasuk barang yang bebas dijual. Walau demikian, karena termasuk minuman beralkohol, pemerintah daerah dapat mengendalikan peredarannya dengan pemberian izin penjualan di tempat-tempat tertentu.
Yang pasti, atas petunjuk Kemendagri, Pemkab Manokwari akan segera merevisi Perda Nomor 5 Tahun 2006 tentang Pelarangan Peredaran Miras dan disesuai dengan peraturan lebih tinggi.
Kata Wakil Bupati Manokwari, Dr Roberth Hammar, ini bukan kemauan Kemendagri tapi berdasarkan aturan atas tingkatan hirarki, seperti Perda tidak boleh bertentangan dengan Keppres.
“Dengan demikian, bila ada masyarakat yang menghendaki penghapusan peredaran miras di suatu daerah, maka terlebih dahulu dicabut dulu Keppres No 3/1997. Tapi, selama Keppres masih ada, kita tidak punya wewenang untuk melarang secara total,” kata Wakil Bupati Manokwari, Dr Roberth Hammar pada wartawan.
Sementara itu, Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi terdengar kesal saat disebut mencabut Peraturan Daerah tentang pelarangan minuman keras atau beralkohol. Menurut Gamawan, yang dilakukannya justru membantu Presiden agar peraturan daerah tidak bertentangan. “Perda Miras ini banyak yang keliru. Saya juga tidak tahu sumbernya dari mana, dibilang Kemendagri membuat Keputusan Menteri mencabut Perda Miras,” kata Gamawan Fauzi pada wartawan, Kamis 12 Januari 2012 lalu.
Gamawan juga membantah mengeluarkan Peraturan Menteri yang mencabut sembilan Perda terkait minuman keras. Menurut Gamawan, berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, Menteri Dalam Negeri membantu Presiden dalam rangka mengevaluasi peraturan daerah bersama Menteri Keuangan.

PALING BANYAK “DIBURU”
Meski saat menjadi Gubernur Sumbar periode 2005-2010 Gamawan Fauzi dianggap sebagian kelompok masyarakat sebagai “gubernur wacana”, karena terlalu banyak melontarkan gagasan, namun ketika ia sudah menjadi Menteri Dalam Negeri, yang dilantik Presiden RI Soesilo Bambang Yudhoyono, pada 22 Oktober 2009 lalu, di Istana Negara Jakarta, Gamawan malah makin sering melontarkan gagasan-gagasan bernasnya.
Seperti diketahui, saat menjadi Menteri Dalam Negeri itu, Gamawan Fauzi sering melontarkan ide-ide cemerlangnya, mulai dari monarki Yogyakarja, ide mengembalikan pemilihan kepala daerah kepada DPRD, rencana mempersenjatai Satpol PP dan lainnya.
Karena ide-idenya itulah, akhirnya Gamawan Fauzi termasuk sebagai salah seorang menteri yang paling “diburu” oleh wartawan, untuk menjadi sumber berita. Hasil survei Charta Politika Indonesia (CPI) mencatat, sepanjang 2010 Gamawan tercatat menjadi sumber berita untuk 605 pemberitaan di berbagai koran nasional, di antaranya Kompas, Media Indonesia, dan lainnya.
Dari fakta dan hasil survei Charta Politika Indonesia (CPI) itulah, akhirnya menempatkan Gamawan Fauzi sebagai sebagai pemimpin kementerian atau lembaga non kementerian yang paling berpengaruh dan paling populer selama 2010. Bahkan, Gamawan ditempatkan pula sebagai salah satu orang berpengaruh di Indonesia.
Seperti diketahui, sekitar bulan Desember 2010 lalu, Mendagri Gamawan Fauzi menyebutkan, bahwa penetapan Gubernur dan Wakil Gubernur di Daerah Istimewa Yogjakarta (DIY) seperti yang selama ini dilakukan, telah melanggar nilai demokrasi. Karena itu Presiden SBY mengusulkan pergantian mekanisme lewat Pemilukada, yaitu melalui pemilihan langsung. Kontan saja ide ini mendapat perlawanan dari masyarakat Yogjakarta !
Tak hanya itu, sebagai Menteri Dalam Negeri, beberapa waktu lalu Gamawan Fauzi juga pernah mengusulkan agar kepala daerah dipilih oleh DPRD, dan tidak lagi lewat pemilihan langsung. Namun hingga kini pembahasan draf RUU Pemilukada tersebut masih berada di pemerintah dan DPR.
Beberapa waktu lalu, Gamawan Fauzi juga mengusulkan dalam draf RUU Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pemilukada), wakil kepala daerah tidak sepaket dengan kelapa daerah. Wakil akan diambil dari unsur PNS.
Menteri Dalam Negeri-Gamawan Fauzi, juga memberikan informasi yang cukup nengejutkan, terutama tentang “biaya politik” yang dikeluarkan calon kepala daerah untuk menang.
Kata Gamawan, biaya politik untuk menang sebagai kepala daerah memang tidak sedikit. Nilainya sekitar Rp60-100 milyar. Padahal, gaji gubernur sekelas Gubernur DKI Jakarta Fauzi Bowo yang paling tinggi pun hanya sebesar Rp90 juta per bulan. Jika dikali masa jabatan, maka jumlah penghasilannya secara keseluruhan hanya sekitar Rp6 milyar. Gaji penuhnya pun tak akan bisa memenuhi biaya kampanye yang sudah dikeluarkan.
Akibat “biaya politik” yang cukup tinggi itu, kata Gamawan Fauzi, tak jarang calon kepala daerah yang menang berlaku “curang” ketika mengemban amanah sebagai kepala daerah. (Rang)

0 komentar:

Posting Komentar