Bila mau berjujur-jujur, sebenarnya sudah sangat lama Badan Usaha Milik Negara (BUMN) menjadi “sapi perah”. Seperti diketahui, di zaman Orde Baru, para pejabat rezim Soeharto terkesan begitu menikmati uang yang seharusnya menjadi salah satu sumber pendapatan negara itu.
Namun begitu fakta itu coba dikuak oleh sebuah media massa—seperti korupsi parah yang meruyak di Pertamina, salah satu BUMN basah yang menjadi sumber kekayaan keluarga Ibnu Sutowo yang lama mengendalikan perusahaan itu, yang alirannya diduga sampai ke keluarga Cendana (keluarga Presiden Soeharto—selain dicabut Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP)-nya, Mochtar Lubis, sang pemimpin redaksinya, juga dijebloskan ke penjara.
Namun begitu rezim berganti, sepertinya BUMN masih saja menjadi sapi perah para politikus, terutama partai-partai pemenang Pemilu dan kemudian mengendalikan pemerintahan. Lihatlah ketika Gus Dur menjadi presiden, banyak orang politik yang duduk manis sebagai komisaris di hampir semua BUMN. Begitu juga saat Megawati Soekarno Putri berkuasa, politikus dari partai ‘wong cilik’ ini juga menduduki pos-pos penting di BUMN.
Selama pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), agaknya belum terjadi perubahan yang berarti. BUMN tetap saja menjadi incaran para politikus yang tujuan utamanya selain memperkaya diri, juga konon kabarnya mencari dana untuk partai.
Di PT Semen Padang misalnya! Beberapa waktu lalu terjadi kehebohan ketika ada nama seorang wanita yang tak dikenal siapapun sebelumnya, tiba-tiba duduk sebagai salah seorang komisaris. Belakangan, wanita yang dikenal bernama Hj Sarlinawati Akbar SPd, kelahiran Padang 20 Desember 1952 itu, diketahui adalah kakak kandung dari seorang politisi dari partai berlambang matahari terbit, yang kemudian bernasib mujur (sempat menjadi Menteri Hukum dan HAM, meski hanya sebentar).
Kemunculan Sarlinawati sebagai Komisaris PT semen Padang itu memang mengejutkan banyak pihak. Fakta ini sekaligus membuktikan bahwa BUMN begitu tak berdaya menghadapi ‘intervensi kekuasaan’. Makannya, tak berlebihan bila Komisi VI DPR RI mempertanyakan pula pengangkatan salah Sarlinawati sebagai Komisaris PT Semen Padang itu.
DPRD SUMBAR NGOTOT
Entah memang mengetahui secara persis bahwa BUMN memang merupakan sebagai “sapi perahan” politisi maupun petinggi negeri, yang pasti nada setengah “memeras” pernah terlontar dari Ketua DPRD Sumbar Yulteknil, yang berasal dari Partai Demokrat itu.
Beberapa waktu lalu Ketua DPRD Sumbar ini mengatakan bahwa PT Semen sejak beberapa tahun silam dianggap tak begitu memberi kontribusi pada daerah ini. Kalau pun ada, itu pun hanya Rp10/sak semen bagi daerah Sumbar.
Kepada wartawan, Ketua DPRD Sumbar Yulteknil malah berupaya mengali-ngalikan keuntungan yang diraih PT SP selama ini. “Coba bandingkan, dari Rp600 miliar keuntungan mereka setahun, hanya Rp1,2 miliar disumbangkan untuk Sumbar. Padahal bahan baku mereka dari daerah ini. Belum lagi polusi dan jalan yang dirusak truk-truk mereka juga dari uang rakyat Sumbar,” kata Yulteknil kepada wartawan, usai membuka rapat Forum Koordinasi Pimpinan Daerah (Forkopimda), yang dilaksanakan di Bukittinggi, beberapa waktu lalu
Entah logis atau tidak, yang pasti saat itu, di sebuah media harian terbitan Sumbar (Senin, 31 Oktober 2011), Yulteknil malah melontarkan statemen bernada ancaman. “Jika PTSP tidak mau menambah nilai sumbangannya, pihaknya juga tidak akan menyetujui penyerahan lahan seluas 412 hektare yang akan menjadi bahan baku cadangan untuk produksi semen,” begitu statemen Yulteknil dalam sebuah koran harian terbitan Sumbar.
Masih dalam sebuah koran harian—entah memang dalam rangka “menggertak”—Yulteknil malah “menghangatkan” kembali spin off (pemisahan) PT SP dari PT Semen Gresik.
Kata Yulteknil dalam surat kabar harian, (Kamis, 06/10/2011) tersebut, kalau spin off bisa mengakomodir kepentingan pembangunan Sumbar, ia setuju PT SP dipisahkan dari holding-nya dan berdiri sendiri secara otonom.
“Jadi, PT SP tidak hanya mengejar keuntungan atau profit oriented semata, tapi juga berpengaruh besar bagi pertumbuhan dan kemajuan Sumbar,” katanya.
Selain itu, Yulteknil juga mengatakan dalam surat kabar harian tersebut, jika dilakukan spin off akan lebih baik dalam menyinergikan program pemerintah daerah dengan program-program PT SP, terutama corporate social responsibility (CSR), serta kesepakatan tentang sumbangan pihak ketiga. Sebab, jika sudah spin off tidak perlu lagi menunggu kesepakatan PT Semen Gresik yang menjadi holding-nya.
Seperti diketahui, sebelumnya sumbangan pihak ketiga PT SP untuk Sumbar Rp1,25 miliar per tahun. Setelah mendapat sejumlah kritikan dari wakil rakyat, angka itu bertambah menjadi Rp2,5 miliar per tahun. Walau demikian, DPRD Sumbar masih tetap bersikukuh menyatakan jumlah tersebut masih kecil.
Meski tak ada Undang-Undang yang mengatur, DPRD Sumbar berani mematok sumbangan yang harus dikeluarkan PT SP sebesar Rp5 miliar per tahun. Malah, DPRD Sumbar sepakat untuk tetap menolak sumbangan pihak ketiga dari PT SP itu, jika angka yang diberikan masih di bawah Rp5 miliar.
WALIKOTA PUNYA CARA BERBEDA
Mungkin terkesan sedikit lebih bijak ! Walikota Padang Fauzi Bahar, yang juga punya hasrat meminta PT Semen Padang untuk meningkatkan kontribusi terhadap daerah, terkesan bagai seorang “pemain billiard”, meski bola 1 yang hendak dituju, namun punya target mamasukkan bola 13.
Setidaknya, aksi demo Warga Padang Cinta Damai (WPCD) pada 4 Januari 2012 lalu, dianggap beberapa kalangan bahwa Walikota Padang sedang bermain bola billiard. Setidaknya hal itu mereka indikasikan dari cara walikota merespon somasi WPCD, yang meminta agar walikota tidak memberikan izin pembukaan lahan atau rekomendasi pengalihan fungsi hutan lindung (HL) seluas 245 Ha dan hutan suaka alam wisata (HSAW) seluas 69 Ha kepada PT Semen Padang (PT SP).
Dalam pandangan WPCD, penambahan areal tambang PT Semen Padang seluas 412, 03 Ha akan memperburuk keadaan kwalitas Daerah Aliran Sungai (DAS) Sungai Banjir Kanal dan Batang Arau dan kwalitas lingkungan di sekitar kawasan Banjir Kanal dan Batang Arau serta kwalitas lingkungan di sekitar kawasan yang dapat merugikan masyarakat Kota Padang.
Yang menjadi semuanya menjadi luar biasa—entah karena WPCD ini diketuai oleh Aldi Yunaldi, yang sudah menjadi rahasia umum merupakan “orang dekatnya” Walikota Padang—aksi WPCD ini malah disambuat secara istimewa.
Malah beredar pula kabar bahwa aksi demo yang dilakukan WPCD itu difasilitasi oleh Walikota Padang Fauzi Bahar, disebut-sebut untuk aksi itu Pemko Padang menyediakan dana sebesar Rp7,5 juta perkecamatan untuk 50 orang peserta aksi pada masing-masing kecamatan.
Terlepas benar atau tidaknya isu ini, mungkin dalam sejarah aksi demo di Kota Padang, inilah kali pertamannya para pendemo disambut secara lengkap. Tak tanggung-tanggung, untuk menyambut para pendemo dari WPCD itu, Walikota Padang harus ditemani oleh Wakil Walikota Padang H. Mahyeldi Ansharullah SP dan Sekda Padang Ir H Emzalmi MSi.
Menyambut tuntutan WPCD itu, ujung-ujungnya Walikota Padang Fauzi Bahar juga “meminta sesuatu” pada PT Semen Padang. Fauzi Bahar pun berharap, agar perluasan PT Semen Padang itu bisa memberikan dampak positif dan ada kontribusi ke Kota Padang, sesuai amanat otonomi daerah, minimal sebesar 7 persen, seperti yang dilakukan oleh perusahaan besar di daerah lain, misalnya PT. Caltex Pacific Indonesia, Pertamina, PT Freeport Indonesia dan yang lainnya.
“Kelak dananya bisa kita manfaatkan untuk pembenahan berbagai infrastruktur kota, seperti jalan, irigasi, jembatan dan sebagainya,” ujar Fauzi Bahar.
Lebih jauh dikatakan oleh Fauzi Bahar, saat ini Kota Padang sangat minim dana untuk membenahi berbagai infrastruktur kota, seperti pembenahan jalan, jembatan, sarana irigasi dan yang lainnya. Untuk itu tentu perlu mencari berbagai terobosan penambahan PAD sesuai dengan berbagai aturan yang berlaku.
“Kalau pihak PT Semen Padang mau memberikan perhatian khusus kepada Pemko Padang dalam memacu pembangunan di daerah tentu ini hal kita sambut positif,” ujarnya.
Walikota Padang Fauzi Bahar juga mencontohkan kota-kota dan provinsi lain, yang pendapatan asli daerah yang cukup menjanjikan untuk pengembangan daerahnya, lantaran ditopang oleh perusahaan-perusahaan besar yang ada di daerah mereka.
“Begitu juga halnya dengan Kota Padang atau Provinsi Sumbar, kalau perusahaan besar yang ada di daerah ini menyisihkan saja sebesar 7,5 persen dari pendapatannya setiap tahun, itu angka yang cukup signifikan untuk membantu percepatan pembangunan di daerah, seperti untuk pembenahan jalan di Kota Padang dan daerah lainnya,” kata Fauzi Bahar.
TUNTUTAN WPCD
Kendati PT SP sukses meraih Platinum Award, penghargaan tertinggi pada ajang Indonesian CSR Award’s (ICA) Award’s 2011 untuk kategori sosial, serta menyabet empat Gold Award, penghargaan kedua tertinggi pada ICA Award’s, untuk kategori lingkungan, HAM, konsumen dan ekonomi, WPCD malah “mengklaim” aktifitas PT Semen Padang terindikasi telah menimbulkan kerusakan lingkungan dan berbagai kerugian yang jumlahnya cukup signifikan.
“Hal itu dibuktikan dengan tingkat TTS, BOD dan COD di atas ambang batas yang diizinkan,” ujar Ketua WPCD Aldi Yunaldi.
Selain itu, menurut WPCD, penambahan areal tambang PT Semen Padang seluas 412, 03 Ha akan memperburuk keadaan kwalitas Daerah Aliran Sungai (DAS) Sungai Banjir Kanal dan Batang Arau dan kwalitas lingkungan di sekitar kawasan Banjir Kanal dan Batang Arau serta kwalitas lingkungan di sekitar kawasan yang dapat merugikan masyarakat Kota Padang.
Dalam hitung-hitungan WPCD, nilai ekonomi yang akan hilang untuk areal 412, 03 Ha jumlahnya cukup signifikan, biaya revegetasi pasca tambang lahan seluas 412, 03 jumlahnya cukup signifikan.
WPCD memberikan somasi kepada Pemko Padang yaitu, agar walikota tidak memberikan izin pembukaan lahan atau rekomendasi pengalihan fungsi hutan lindung (HL) seluas 245 Ha dan hutan suaka alam wisata (HSAW) seluas 69 Ha.
Bahkan, WPCD pun mendesak Pemko Padang membuat Perda dan sanksi tegas terhadap PT Semen Padang yang mereka nilai telah terindikasi menimbulkan pencemaran dan merusak lingkungan. Juga meminta Pemko Padang agar memerintahkan PT Semen Padang memperbaiki pencemaran udara di sekitar Indarung dan sekitarnya serta kerusakan lingkungan setiap tahunnya, di sepanjang DAS Banjir Kanal dan Sungai Batang Arau.
Ia mengancam, apabila walikota tetap bersikap memberikan toleransi terhadap kinerja dan perluasan PT semen Padang yang jelas-jelas merusak lingkungan, WPCD akan menuntut Pemko Padang dengan tuduhan telah membuat sumber bencana baru yang sewaktu- waktu mengancam warga Kota Padang, tegas Ketua WPCD Aldi Yunaldi.
Menanggapi aksi WPCD ini, Kabiro Humas PT SP Daconi, hanya bisa menyangkan. “Mari sama-sama melihat secara jernih niat PT SP yang baik untuk masyarakat,” tulisnya melalui pesan singkat (SMS), Jum’at (06/01).
Terkait dengan keakuratan data yang dikemukakan WPCD, terutama tingkat TTS, BOD dan COD di atas ambang batas yang diizinkan, Daconi dalam jumpa presnya di Kantor PT SP, Rabu (4/1) mengatakan, data WPCD merupakan data lama. Sebab, PT SP justru secara kontinu bersama Balai Riset dan Standardisasi Industri Padang melakukan pemeriksaan terhadap dampak lingkungan.
Kata Daconi, berdasarkan Kepmen LH Nomor 51/1995 tentang baku mutu air limbah menerangkan, pencemaran air sungai terjadi bila limbah industri melebihi angka maksimal 100 mg per liter. Sementara hasil analisa PT SP dari balai riset itu atas COD di tiga lokasi Oktober 2011, hanya 27 mg per liter, lokasi kedua 35 mg per liter dan lokasi ketiga 21 mg per liter.
Sedangkan BOD, untuk mengukur kandungan oksigen dalam air pasca pengolahan, ambang batas maksimalnya hanya 50 mg per liter. Namun hasil uji labor balai riset, BOD di lokasi pertama hanya 3,15 mg per liter, lokasi kedua 2,72 mg per liter, dan lokasi ketiga 3,51 mg per liter. (Rangga)
Senin, 20 Februari 2012
Semen Padang Jadi “Sapi Perahan” ?
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar