Apakah anda pernah melewati jalanan berlubang, baik itu jalan umum, lebih-lebih jalan kota ataupun provinsi. Lalu, bagaimanakah perasaan anda saat melihat pemandangan itu ?
Besar kemungkinan akan muncul rasa kesal dan dongkol dalam diri anda. Bahkan mungkin juga akan muncul umpatan anda terhadap pemerintah, terutama Dinas Pekerjaan Umum.
Bila disilau secara mendalam, sepertinya telah menjadi sebuah kesepakatan umum bahwa jalan raya adalah hak rakyat yang wajib selalu dalam keadaan bagus. Karena dari jalan lah segala aktivitas pergerakan manusia dilakoni.
Jalan tak obahnya bagai sebuah panggung bagi rakyat tuk menapaki rutinitas kehidupan mereka. Jalan juga tak obahnya bagai sebuah artefak purba yang masih ada dan banyak sejarah terkandung di dalamnya.
Betapa banyak sejarah, kisah serta laku hidup dari sebuah bangsa dan manusianya yang terekam dan terjadi di atas jalan. Banyak contoh dari hal ini, semisal jalan terpanjang di Tanah Jawa, Anyer (Banten) hingga Panarukan (Banyuwangi), yang seperti kita ketahui adalah sebuah artefak sejarah, yang hingga kini masih ada dan masih ditapaki oleh anak cucu dari para moyang pribumi kita dahulu yang dijadikan rodi oleh Belanda.
Tak heran jika seorang penulis sekaliber Pramoedya Ananta Toer juga pernah menulis sebuah buku mengenai “Kisah Jalan” ini lewat buku fenomenalnya yang berjudul Jalan Raya Pos, Jalan Daendels yang sangat bagus dalam menceritakan kisah dari sebuah artefak sejarah yang bisu, namun tak lekang digerus zaman, yang bernama “jalan”.
Pada halaman-halaman awal Pram menguraikan awal ketertarikannya pada Jalan Raya Pos yang memakan banyak korban jiwa para pekerja paksa yang ia golongkan sebagai genosida.
Ia juga menyinggung beberapa genosida yang awalnya dilakukan oleh Jan Pietersz Coen (1621) di Bandaneira, Daendels dengan Jalan Raya Posnya (1808), Cuulturstelsel alias tanam paksa, genosida pada zaman Jepang di Kalimantan, genosida oleh Westerling (1947) hingga genosida terbesar dalam sejarah bangsa Indonesia di awal-awal pemerintahan Orde Baru.
Begitu banyak sejarah yang tersimpan dari kisah “jalan” tersebut, maka semakin menjadi sebuah kewajaranlah jika saat ini kita patut marah dan kesal jika ada jalanan yang rusak dan tak terawat.
Jalan yang rusak bukan hanya mengganggu aktivitas rakyat negeri ini sehari-hari namun juga mencederai nama baik bangsa ini. Kenapa demikian? karena jalan adalah aset sejarah. Dan, bangsa yang besar adalah bangsa yang dapat menghargai jasa para pendahulunya (pahlawannya), demikian ujar Bung Karno.
Jika mau melongok sejarah, jalan Anyer- Panarukan yang panjangnya 1000 Km tersebut adalah hasil karya sejarah moyang kita. Dimana dalam mewujudkan jalan itu keringat dan darahnya dipaksakan tertumpah oleh Belanda melalui tangan besi Gubernur Jenderal Herman Willem Daendles (1762-1818).
Kala itu, Daendles sendiri berangan untuk membangun jalur transportasi sepanjang pulau Jawa guna mempertahankan Jawa dari serangan Inggris. Dan Angan-angan membangun jalan yang membentang antara Pantai Anyer hingga Panarukan itu direalisasikannya dengan mewajibkan setiap penguasa pribumi lokal untuk memobilisasi rakyat, dengan target pembuatan jalan sekian kilometer
.
Jika menilik fakta sejarah yang sedemikian hebat mengenai hikayat sebuah “jalan”, maka seyogyanyalah para manusia zaman ini berkewajban merawat dan menjaga artefak sejarah tersebut. Mulai dari cara yang paling sederhana sekalipun, semisal tidak memaksakan melewati sebuah jalan dengan membawa kendaraan yang berbobot lebih dari yang dapat ditahan oleh aspal jalanan.
Hal ini penting guna merawat kondisi jalan, sekaligus menghemat APBN maupun APBD. Dan kewajiban ini berlaku bagi semua masyarakat, baik itu sipil maupun institusi terkait.
Karena bukan rahasia lagi bahwa masih banyak para petugas dari dinas terkait yang masih memperbolehkan kendaraan besar dengan muatan yang besar pula untuk tetap melewati jalanan yang tidak dapat menahan beban-beban seberat itu.
Maka, tak heran jika masyarakat menganggap timbangan jalan dari petugas terkait nampaknya tak lebih dari formalitas tugas belaka, yang disertai penarikan pungutan jalan. Namun untungnya saat ini masyarakat dapat mengontrol aparatnya melalui laporan yang disebarkan lewat berbagai media seperti jejaring sosial dan Radio, termasuk juga melalui sorot tajam kamera dan pena para wartawan yang selalu kritis mengawal laku pemerintah. (*)
Rabu, 21 Maret 2012
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar